sistem perdagangan indonesia
Indonesia masih menghadapi kendala dalam menyelenggarakan trade
across borders (perdagangan internasional), bahkan indikator inilah yang
menyebabkan peringkat ease of doing business (kemudahan berbisnis) menjadi
tidak maksimal.
Hal tersebut diungkapkan peneliti Institute for Development of
Economics and Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini, di Jakarta, Jumat.
Menurutnya, publikasi World Bank menunjukkan penurunan peringkat
Indonesia pada indikator perdagangan lintas negara, dari urutan 105 pada 2016
dan 108 pada 2017 menjadi 112 pada 2018.
Hal itu mengganggu pencapaian Indonesia pada peringkat ease to
doing business yang hanya menempati peringkat 72 pada 2018, meski sudah
meningkat dari peringkat 91 pada 2017.
“Ini indikasi perlunya perbaikan regulasi dan prosedur agar waktu
dan biaya ekspor impor lebih cepat dan murah,” ujar Eisha.
Lebih lama dibanding Thailand
Di Indonesia untuk mengurus export documentary compiliance
membutuhkan waktu selama 60 jam dengan biaya USD 130. Sedangkan untuk export
border compliance membutuhkan waktu 48 jam dengan biaya USD 250.
Untuk import border compliance membutuhkan waktu 80 jam dengan
biaya USD 384. Untuk Import documentary compliance membutuhkan waktu 119 jam
dengan biaya USD 160.
Bandingkan dengan Thailand yang peringkat trade across borders-nya
lebih tinggi dari Indonesia, yaitu 57. Di negara itu, export border
compliance-nya selama 57 jam dan biayanya USD 223. Export documentary
compliance selama 11 jam dengan baiya USD 97.
Sedangkan untuk import border compliance selama 50 jam dengan
biaya USD 223 dan import documentary compliance selama 4 jam dengan biaya USD
43.
Prosedural ekspor impor harus diubah
Jika prosedural ekspor-impor rumit dan belum dibenahi, maka
perusahaan yang melakukan aktivitas ekspor dan impor akan terbebani biaya yang
besar dan waktu yang lama.
Secara umum, naiknya peringkat ease of doing business ini membawa
angin segara pada investasi tahun depan. Ini menunjukkan karena kepercayaan
terhadap kondisi iklim bisnis di Indonesia yang semakin meningkat.
Namun, pemerintah tidak bisa berpuas diri, karena peringkat ini
ternyata masih di bawah negara tetangga di ASEAN. Misalnya posisi Singapura
yang menduduki peringkat 2, Malaysia peringkat 24, Thailand peringkat 26,
bahkan Vietnam yang kondisi ekonominya dinilai masih di bawah Indonesia
menduduki peringkat 68.
Menurut Eisha, yang harus diperbaiki diantaranya indikator seperti
deregulasi ijin usaha dan prosedur ekspor-impor, pendaftaran properti,
perpajakan dan proteksi investor.
”Peluang ini harus dimanfaatkan untuk menarik investasi yang
memberikan penyerapan tenaga kerja atau reforming to create jobs,” ujar Eisha.
Komentar
Posting Komentar